Lompat ke isi utama

Berita

Opini - Menilik Putusan MK Nomor 135/2024: Ancaman Sunyi atau Oase dalam Kehidupan Demokrasi?

Bawaslu Banyumas

ilustrasi

Oleh: Haedar Ibnu Roif, S.H

(Analis Hukum Sekretariat Bawaslu Kabupaten Banyumas)

 

Masih segar diingatan kita, tatkala Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang diajukan oleh Perludem beberapa waktu lalu. Gemuruh diskursus pasca putusan MK tersebut sangatlah beragam yang tampaknya menimbulkan kesan ‘dilema’ bagi pembuat undang-undang dan pemerintah untuk menindaklanjuti putusan tersebut.

 

Pertimbangan Hukum

Anggota Bawaslu RI periode 2017-2022 sekaligus Deputi Bidang Koordinasi Informasi dan Evaluasi Kantor Komunikasi Kepresidenan, Fritz Edward Siregar, melihat ada 6 (enam) ratio decidendi dari putusan MK 135/2024. Pertama, tumpukan beban kerja dari penyelenggara pemilu yang dalam batas penalaran dapat berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan pemilu. Kedua, kekosongan waktu yang relatif panjang bagi penyelenggara pemilu. Ketiga, pelemahan pelembagaan partai politik, sehingga terjebak pada pragmatisme dan ketidakcukupan waktu dalam merekrut calon anggota legislatif dan calon Presiden dan Wakil Presiden. Keempat, pemilih dianggap tidak memiliki waktu yang cukup untuk menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu. Kelima, pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional. Keenam, potensi kejenuhan pemilih dengan agenda pemilu.

 

Dilema Putusan MK

Dengan segala kerumitan, tantangan, kontroversi, dan permasalahan hukum lain yang ditimbulkan akibat dari putusan tersebut, refleksi penting dengan adanya putusan MK 135/2024 adalah kedudukan MK yang menempatkannya sebagai lembaga yudikatif yang bersifat aktif (positive legislator). Padahal di dalam paham negara demokrasi konstitusional, hukum dibentuk oleh lembaga legislatif bersama eksekutif sebagai dogma yang dianut dan melekat bukan oleh lembaga yudikatif yang bersifat pasif. Pertimbangannya adalah bahwa merekalah yang memiliki legitimasi elektoral.

Apabila nantinya putusan tersebut dijalankan oleh DPR bersama pemerintah, maka pemisahan jadwal penyelenggaraan pemilu selanjutnya, yaitu pelaksanaan pemilu nasional dilaksanakan pada tahun 2029, namun pelaksanaan pemilu daerah/lokal akan diselenggarakan pada tahun 2031. Tentu pelaksanaan pemilu daerah/lokal tersebut melanggar konstitusi, Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mengharuskan pelaksanaan pemilu dilakukan setiap 5 tahun sekali. Selain itu, adanya rentang waktu atau jeda pelaksanaan pemilu nasional ke pemilu daerah/lokal adalah 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan yang berimplikasi pada masa jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota.

Inilah kiranya yang dimaksud oleh Richard Albert, seorang pakar Hukum Tata Negara University of Texas, sebagai stealth constitutional change (perubahan konstitusi dengan diam-diam). Bentuk nyata dari pelaksanaan rekayasa konstitusional (constitutional engineering). Bahwa MK tanpa melalui mekanisme amandemen formal dan resmi telah mengubah substansi dari konstitusi tanpa prosedur yang dibenarkan berdasarkan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945.

Perubahan tersebut setidaknya disebabkan oleh beberapa hal yang tercerminkan dalam praktik-praktik ketatanegaraan melalui lembaga yudikatif, yaitu putusan MK yang acapkali tidak dijalankan oleh lembaga legislatif. Pertama, norma hukum yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan zaman. Kedua, kebutuhan politik yang mendesak. Ketiga, adanya pembiaran yang sistematis oleh lembaga negara terhadap penegakan hukum. Apapun penyebab dan alasannya, perubahan konstitusi yang tidak melalui mekanisme amandemen resmi sangat berpotensi terhadap perubahan hubungan antar lembaga, pergeseran struktur kekuasaan di dalam konstitusi, hingga yang paling ekstrem adalah pelemahan demokrasi secara senyap. Institusi hukum seperti MK amat rentan bersinggungan dengan kepentingan politik. Fungsi yang melekat pada lembaga tersebut seperti sebagai pengawal dan penafsir tunggal konstitusi dikhawatirkan digunakan untuk melampaui kewenangannya yang dapat mengakibatkan rakyat tidak lagi menjadi sumber kedaulatan.

Karena rakyat tidak menyadari bahwa konstitusi telah diubah tanpa keterlibatan mereka melalui lembaga perwakilan rakyat yang memang memiliki legitimasi elektoral. Matinya demokrasi tidak selalu terasosiasikan melalui kudeta ataupun revolusi, akan tetapi secara senyap dapat melalui mekanisme prosedural dengan pasal-pasal, tafsir-tafsir maupun putusan-putusan.

Adapun contoh nyata bisa kita lihat ke belakang ke dalam putusan MK 90/2023 yang menyebutkan bahwa capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, Bupati, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun. Putusan tersebut adalah sebuah pembelajaran politik-hukum bagi kita, bahwa bagaimana MK sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik. Ke depan sistem demokrasi Indonesia akan selalu diambang ancaman kepentingan politik tertentu apabila lembaga yudikatif seperti MK tidak hati-hati dalam menjalankan fungsinya sebagai guardian of constitution.

 

Langkah Progresif Penafsir Konstitusi

Mengandaikan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, maka harus segera ada tindaklanjut untuk bisa menterjemahkan maksud dari putusan tersebut ke dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis dan administrasi. Adagium hukum telah menegaskan bahwa demokrasi selalu mengandaikan adanya supremasi hukum dan ini sejalan dengan konstitusi kita yang tercermin pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sehingga diperlukan adanya aturan hukum yang clear dan tegas untuk mengakomodir putusan tersebut dengan adil.

Melalui putusan MK 135/2024 dinilai oleh banyak kalangan sebagai langkah yang berani dan progresif dalam mengoreksi dan memperbaiki sistem politik saat ini. Setidaknya terdapat 2 (dua) hal yang menjadi sorotan dalam putusan tersebut. Pertama, pemisahan jadwal penyelenggaraan pemilu nasional (DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden) dengan jadwal penyelenggaraan pemilu daerah/lokal (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dan DPRD provinsi/kabupaten/kota). Kedua, pengaturan masa transisi/peralihan jabatan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota berdasarkan hasil pemilihan serentak pada tanggal 27 November 2024, serta anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota berdasarkan pemilu pada tanggal 14 Februari 2024. Dengan demikian, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai ‘pemilu lima kotak’ tidak lagi berlaku.

Implikasi terhadap perubahan jadwal keserentakan pemilu nasional dan pemilu lokal/daerah nyaris tidak ada masalah. Apabila yang menjadi perdebatan publik selanjutnya adalah mengenai perpanjangan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, setidaknya perlu dibuat rekayasa konstitusi yang paling minimal derajat pelanggaran konstitusinya. Wacana yang paling mungkin dipilih adalah skema pelaksanaan pemilu sela untuk memilih anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan masa jabatan terbatas sekitar 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan. Penataan masa jabatan sangat dimungkinkan dilakukan selama masa transisi. Hal ini berdasarkan pada best-practices percepatan pemilu legislatif ketika lembaga legislatif yang pada saat itu hasil pemilu tahun 1997, yang mestinya memegang masa jabatan sampai tahun 2003, dipotong masa jabatannya karena pada tahun 1999 terjadi percepatan pemilu pada saat reformasi. Bahwa dengan adanya preseden masa transisi dalam bentuk pemotongan masa jabatan, sangat dimungkinkan perpanjangan masa jabatan dilakukan, untuk memastikan jadwal penyelenggaraan pemilu lebih baik, dan meningkatkan kualitas kedaulatan rakyat. 

Dengan begitu putusan MK 135/2024 seakan telah menjadi angin segar dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia saat ini. Namun, keberhasilan realisasinya akan sangat bergantung pada kemampuan dan komitmen lembaga legislatif dan eksekutif dalam merumuskan dan melaksanakan regulasi baru yang komprehensif dan tepat waktu.

Penulis: Haedar Ibnu Roif, S.H

(Analis Hukum Sekretariat Bawaslu Kabupaten Banyumas)  

Tag
banyumas
bawaslu
bawaslu banyumas
Berita
Putusan